Epistemik
4 min readOct 16, 2020

Review Film: Bomb City (2017)

Apakah Salah Menjadi Seorang Punk?

“...Saat ini, semua orang ingin menyalahkan musik, menyalahkan film-film. Tapi kau tahu, kita lupa jika kita punya orang mati yang tergantung di kayu ruang tamu. Dan itu sesuatu yang kita sembah seumur hidup kita. Jika kau berpikir salib sebagai barang dagangan yang massal dalam sejarah dunia, aku selalu merasa itu cukup menarik... Menurutku apa yang mulai membuat orang bingung saat ini adalah mereka anak yang masih remaja. Kenapa mereka marah? Mereka anak kulit putih kelas menengah yang manja. Itu permasalahan sebenarnya...”

-Marilyn Manson dalam Speech of the Blame-

Teks di atas adalah penggalan narasi dari Marilyn Manson yang mengawali film Bomb City. Film besutan sutradara Jameson Brooks ini tayang pada tahun 2017 dan diangkat dari kisah nyata tentang kematian Brian Deneke (salah satu anggota komunitas Punk di Amarillo, Texas) dalam sebuah bentrokan dengan sekumpulan pemuda futbol yang menamakan dirinya
“The Perps” pada tahun 1997.

Bibit permusuhan antara komunitas punk dengan kelompok The Perps berawal dari saling ejek saat bertemu di sebuah cafe. Selanjutnya sekumpulan pemuda futbol itu selalu memulai ulah pada komunitas punk, termasuk melempar beer ke kepala Brian Deneke saat bermain skateboard pada suatu malam yang mengakibatkan pelipisnya robek.

Klimaks dari kemarahan Brian Deneke CS terhadap The Perps adalah saat salah satu teman Brian Deneke yang bernama Jhon King dikeroyok oleh anggota The Perps. Hal itu terjadi lantaran Jhon King meminta pertanggungjawaban atas pecahnya kaca jendela club karena dilempar papan tanda jalan oleh sekumpulan anggota The Perps sesaat sebelumnya. Perkelahian hebat dua anggota kelompok pun tak bisa dihindarkan. Keributan tersebut terjadi di Western Plaza Shopping Centre yang mengakibatkan meninggalnya Brian Deneke lantaran sengaja ditabrak dan dilindas mobil oleh salah satu anggota The Perps yang bernama Cody Cates.

Permasalahan tidak selesai sampai di situ saja, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Cody Cates terhadap Brian Deneke akhirnya masuk ke dalam pengadilan. Di sinilah “konflik” yang sesungguhnya dimulai. Jika boleh menggambarkan proses pengadilan tersebut dalam satu kata saya tak sungkan untuk mengatakanBANGSAT!”

Bagaimana tidak, di persidangan, pengacara Cody Cates menyoroti dan mempermasalahkan aksesoris punk milik Brian Deneke, mulai dari jaket kulit bertuliskan “destroy everything”, sebuah rantai, dan sepasang sepatu boots. Menurut pengacara Cody Cates semua itu adalah alat untuk mengintimidasi. Dan yang lebih menjengkelkannya lagi adalah pengacara Cody Cates ini berhasil mengintervensi juri, sehingga Cody Cates terbebas dari segala tuduhan yang tertuju kepadanya.

Negara Amerika yang “katanya” sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan saja bisa menghukum seseorang hanya dari “tampilannya”, bagaimana di Indonesia? Bukankah semua ini adalah definisi dari kata “BANGSAT”?! Jika kalian telah menonton film ini dan kalian masih memiliki hati nurani, mungkin kalian sama geramnya dengan saya. Untuk yang belum nonton, silakan tonton dan simpulkan sendiri dari kisah kematian Brian Deneke dan tentunya proses pengadilan yang sungguh-sungguh bangsat.

“...Ada anak punk remaja yang dilindas oleh atlet sekolahan kulit putih dengan mobil Cadillac ayahnya. Anak ini tewas karena dia terlihat berbeda. Hal ini terjadi dan anak itu telah membunuhnya. Dan itu jelas bersalah, dia bahkan mengakui kesalahannya. Tapi tebak di mana atlet All-American ini berada sekarang? dia kuliah. Hakim juri merasa anak punk itu pantas mati karena terlihat urakan. Tidak hanya meninggal, di persidangan dia dibunuh lagi. Karena mereka mengkritik gaya hidupnya. Karena dia tak mengenakan kemeja Tommy Hilfiger dan celana kain, tahu kan? Lalu si pembunuh bahkan mendapat tepuk tangan saat kelulusan, karena dia seorang bintang futbol. Mimpi Amerika, kuat, normal. Dia tak pernah seharipun dipenjara..”

-Marilyn Manson dalam Speech of the Blame-

Sekarang mari kita sedikit keluar konteks dari film Bomb City, namun masih tetap relevan dengan tema dalam film ini, yaitu kasus: persekusi yang dialami kawan-kawan punk Aceh oleh pihak aparat pada tahun 2011 silam. Sekadar mengingatkan, pada tahun 2011,Indonesia (khususnya kawasan Aceh) sempat menjadi sorotan dunia karena perlakuan aparat yang merazia anak punk. Bukan hanya di razia, anak-anak punk di Aceh diperlakukan sangat tidak manusiawi dan jauh dari kata HAM. Bagaimana tidak, anak-anak punk yang terjaring razia lalu dibawa ke Sekolah Polisi Nasional lalu di telanjangi, dijemur ditengah teriknya matahari dan juga rambut mereka digunduli.

Dalih aparat pada saat itu adalah ingin melakukan “pembinaan” kepada para anak punk yang dianggap meresahkan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, apakah melakukan pembinaan harus memperlakukan manusia layaknya binatang? saya kira kita semua sepakat untuk mengatakan tidak (terkecuali bagi mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan). Untuk lebih jelasnya, kalian bisa menonton video di channel YouTube Vice Indonesia tentang kasus persekusi anak punk di Aceh dengan judul; “Kami Menemui Komunitas Punk di Aceh”.

Dari contoh kasus yang dialami oleh Brian Deneke dan juga persekusi anak punk yang terjadi di Aceh, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya masih memandang sesuatu hanya dari penampilan atau atribut yang dikenakan. Hal ini lebih diperburuk lagi karena penguasa atau para pemangku jabatan secara langsung melegitimasi budaya penghakiman ini.

Kita bisa ambil contoh kasus dari seleksi CPNS yang diselenggarakan oleh negara. Mereka yang bertindik, berambut gondrong dan juga bertato tidak diperbolehkan untuk mengikuti seleksi CPNS, sekalipun mereka yang memiliki tatto, bertindik dan berambut gondrong adalah warga negara yang baik dan tidak memiliki jejak kasus kriminal. Begitupun yang terjadi di perusahaan-perusahaan besar, semua karyawan diharuskan berpenampilan rapi agar dianggap sopan. Apakah mereka yang memakai jas dan ber-sepatu pantofel lebih sopan dari mereka yang berpenampilan urakan? saya kira belum tentu.

Apakah para koruptor di negeri ini bertindik? memiliki tatto? berambut gondrong? ahhh tidak... mereka berpenampilan “sopan”. Lalu apakah menghakimi seseorang hanya dari penampilannya membuat kita lebih baik dari mereka? sangat tidak. Yang berhak menghakimi diri seseorang adalah orang tersebut dan budaya semacam tadi sudah seharusnya dihilangkan dari muka bumi ini. Be yourself and do it yourself.

Penulis bernama Gugun Gunaedi, alumni sosiologi UNJ yang sedang bergiat menuangkan ide-idenya di arena per-clothing-an. Silakan cek di ig-nya→ @blaze.cloth

Epistemik
Epistemik

No responses yet